Target pasar Starbucks adalah mereka kalangan kelas menengah secara umum, middle class muslim dengan karakter Apahtis dan Rasional.
~ Karnoto ~
Starbucks kembali ramai diperbincangkan di Indonesia, terutama kalangan muslim. Maklum, statement CEO Starbucks Howard Schultz dinilai melukai, bukan saja umat muslim tetapi juga budaya masyarakat Indonesia yang terkenal dengan adat ketimuran.
Dalam kutipan di Republika, Howard mengatakan orang-orang yang hanya mendukung pernikahan beda jenis dan mengabaikan pernikahan sesama jenis tidak diperlukan di perusahan kedai kopi Starbucks. Itu artinya, dia mendukung pernikahan sejenis yang sempat ramai beberapa waktu lalu.
Ditinjau dari sisi komunikasi pemasaran, jelas ini sangat buruk karena semestinya Starbucks bukan membuat customer di Indonesia menjauh dengan menentang adat ketimuran Indonesia.
Namun jika melihat target pasar yang dibidik Starbuck memang kelas menengah atas, karena sebenarnya Starbucks tidak menjual kopi an sih, melainkan value dalam hal ini lifestyle.
Orang ke Starbuck bukan ingin membeli kopi, melainkan ada gaya hidup disana. Tak heran mereka yang ngopi di Starbucks hampir dipastikan mengupload foto dan dishare ke sosial media.
Jika mengamati perilaku konsumen Starbucks maka dipastikan mereka dari kelas menengah, mengingat harga kopi di kedai ini relatif mahal jika dibandingkan kopi di warung biasa.
Kalau konsumen Starbuck hanya sekadar membeli kopi maka pasti akan banyak pertimbangan. Satu cangkir bisa mencapai Rp 90.000, bisa dibayangkan andaikan uang tersebut untuk ngopi di warung biasa, bisa dapat berapa gelas kopi. Itu kalau niat sekadar ngopi, apalagi rasanya juga masih enak kopi lokal.
Namun seperti yang saya katakan di atas bahwa konsumen Starbucks bukanlah membeli kopi, melainkan lifestyle. Dalam teori Abraham Maslow, kalangan yang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makan, papan dan sandang maka kebutuhan selanjutnya adalah pengakuan.
Jadi perilaku konsumen Starbucks sebenarnya ingin mendapat pengakuan bahwa dirinya sudah bisa ke Starbucks. Lalu bagaimana dengan pasar kelas menengah muslim?
Dalam tulisan sebelumnya middle class muslim pernah saya ulas, bahwa ada perilaku unik dari middle class muslim Indonesia. Dan itu tidak ditemukan di negara manapun, termasuk Malayasia.
Karakter middle class muslim Indonesia menurut Yuswohady dalam bukunya Marketing to the Middle Class Muslim terbagi menjadi empat bagian, diantaranya Universial, artinya ketika mereka ingin membuat keputusan membeli produk maka ada pertimbangan halal-haram, ideologi, tetapi mereka masih terbuka untuk menerima produk lain sepanjang memenuhi unsur ideologi.
Dan midle class muslim ini jumlahnya mendominasi. Karakter lainnya yaitu Rasionalist, artinya hanya berpegang pada prinsip Gue Dapat Apa?. Kelompok ini memiliki pengetahuan, open minded dan wawasan global, tetapi memiliki tingkat kepatuan pada nilai-nilai Islam yang lebih rendah.
Kelompok lainnya adalah Apathis, Emang Gue Pikirin. Inilah kelompok yang ekonominya belum stabil tetapi kepatuan terhadap nilai-nilai Islam juga rendah.
Kelompok ketiga adalah Conformist, Pokoknya Harus Islam. Artinya, mereka sangat taat terhadap nilai-nilai Islam dan cenderung tidak terbuka sehingga sangat sensitif terhadap isu produk yang menyangkut Islam.
Jadi melihat peta perilaku middle class muslim di atas maka jelas yang dibidik Starbucks adalah kelompok Apathis dan Rasionalist, sedangkan kelompok Universal dan Conformist agak susah masuk.
Dan sepertinya mereka meyakini bahwa pasar Starbucks tak akan berkurang di Indonesia, karena yang sensitif terhadap isu pernikahan sejenis bukanlah target pasar yang mereka bidik sehingga mereka tenang-tenang saja.
Inilah yang disebut dengan ideologi bisnis. Jadi starbucks meyakini bahwa protes dari kalangan Conformist dan Universal tak akan mempengaruhi pasar Starbucks.
Sebagian kelompok Conformist dan Universal memahami realitas ini sehingga mereka pun mencoba memberikan alternatif dengan menghadirkan produk sejenis, dimana kafe kopi tetapi bisa dinikmati dengan lifestyle.
Cara perlawanan terhadap produk yang dianggap melukai kelompok ini sedang menjadi trend. Belum lama ini kita dikenalkan dengan minimarket muslim atau dikenal minimarket 212, lalu ada produk roti.
Sebetulnya umat muslim Indonesia memang sudah selayaknya memperkuat ekonomi, karena memiliki jumlah besar dan selama ini hanya jadi pasar empuk produk-produk luar negeri.
Penulis
Karnoto | Founder ANABerita.Com